SEJARAH BERDIRINYA KABUPATEN BONE
Kerajaan Tana Bone dahulu terbentuk pada awal abad ke- IV atau pada tahun
1330, namun sebelum Kerajaan Bone terbentuk sudah ada kelompok-kelompok dan
pimpinannya digelar KALULA
Dengan datangnya TO MANURUNG ( Manurungge Ri Matajang ) diberi gelar MATA
SILOMPO-E. maka terjadilah penggabungan kelompok-kelompok tersebut termasuk
Cina, Barebbo, Awangpone dan Palakka. Pada saat pengangkatan TO MANURUNG MATA
SILOMPO- E menjadi Raja Bone, terjadilah kontrak pemerintahan berupa sumpah setia
antara rakyat Bone dalam hal ini diwakili oleh penguasa Cina dengan 10 MANURUNG ,
sebagai tanda serta lambang kesetiaan kepada Rajanya sekaligus merupakan
pencerminan corak pemerintahan Kerajaan Bone diawal berdirinya. Disamping
penyerahan diri kepada Sang Raja juga terpatri pengharapan rakyat agar supaya
menjadi kewajiban Raja untuk menciptakan keamanan, kemakmuran, serta
terjaminnya penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat.
Adapun teks Sumpah yang diucapkan oleh penguasa Cina mewakili rakyat Bone
berbunyi sebagai berikut ;
“ ANGIKKO KURAUKKAJU RIYAAOMI’RI RIYAKKENG
KUTAPPALIRENG ELOMU ELO RIKKENG ADAMMUKKUWA MATTAMPAKO
KILAO.. MALIKO KISAWE. MILLAUKO KI ABBERE.
MUDONGIRIKENG TEMMATIPPANG. MUAMPPIRIKKENG
TEMMAKARE. MUSALIMURIKENG TEMMADINGING “
Terjemahan bebas ;
“ ENGKAU ANGIN DAN KAMI DAUN KAYU, KEMANA BERHEMBUS KESITU
KAMI MENURUT KEMAUAN DAN
KATA-KATAMU YANG JADI DAN BERLAKU ATAS KAMI, APABILA ENGKAU
MENGUNDANG KAMI MENYAMBUT
DAN APABILA ENGKAU MEMINTA KAMI MEMBERI, WALAUPUN ANAK
ISTRI KAMI JIKA TUANKU TIDAK SENANGI KAMIPUN TIDAK
MENYENANGINYA, TETAPI ENGKAU MENJAGA KAMI AGAR TENTRAM,
ENGKAU BERLAKU ADIL MELINDUNGI AGAR KAMI MAKMUR
DAN SEJAHTERA ENGKAU SELIMUTI KAMI AGAR TIDAK KEDINGINAN ‘
Budaya masyarakat Bone demikian Tinggi mengenai sistem norma atau adat
berdasarkan Lima unsur pokok masing-masing : Ade, Bicara, Rapang, Wari dan Sara
yang terjalin satu sama lain, sebagai satu kesatuan organis dalam pikiran masyarakat
yang memberi rasa harga diri serta martabat dari pribadi masing-masing. Kesemuanya
itu terkandung dalam satu konsep yang disebut “ SIRI “merupakan integral dari ke
Lima unsur pokok tersebut diatas yakni pangadereng ( Norma adat), untuk
mewujudkan nilai pangadereng maka rakyat Bone memiliki sekaligus mengamalkan
semangat/budaya ;
SIPAKATAU
artinya : Saling memanusiakan , menghormati / menghargai harkat dan martabat
kemanusiaan seseorang sebagai mahluk ciptaan ALLAH tanpa membeda – bedakan,
siapa saja orangnya harus patuh dan taat terhadap norma adat/hukum yang berlaku
SIPAKALEBBI
artinya : Saling memuliakan posisi dan fungsi masing-masing dalam struktur
kemasyarakatan dan pemerintahan, senantiasa berprilaku yang baik sesuai dengan adat
dan budaya yang berlaku dalam masyarakat
SIPAKAINGE
artinya: Saling mengingatkan satu sama lain, menghargai nasehat, pendapat orang lain,
manerima saran dan kritikan positif dan siapapun atas dasar kesadaran bahwa sebagai
manusia biasa tidak luput dari kekhilafan
Dengan berpegang dan berpijak pada nilai budaya tersebut diatas, maka sistem
pemerintahan Kerajaan Bone adalah berdasarkan musyawarah mufakat. Hal ini dibuktikan
dimana waktu itu kedudukan ketujuh Ketua Kaum ( Matoa Anang ) dalam satu majelis
dimana MenurungE sebagai Ketuanya
Ketujuh Kaum itu diikat dalam satu ikatan persekutuan yang disebut KAWERANG,
artinya Ikatan Persekutuan Tana Bone. Sistem Kawerang ini berlangsung sejak ManurungE
sebagai Raja Bone pertama hingga Raja Bone ke IX yaitu LAPPATAWE MATINROE RI
BETTUNG pada akhir abad ke XVI
Pada tahun 1605 Agama Islam masuk di Kerajaan Bone dimasa pemerintahan Raja
Bone ke X LATENRI TUPPU MATINROE RI SIDENRENG. Pada masa itu pula sebuatan Matoa
Pitu diubah menjadi Ade Pitu ( Hadat Tujuh ), sekaligus sebutan MaTOA MENGALAMI PULA
PERUBAHAN MENJADI Arung misalnya Matua Ujung disebut Arung Ujung dan seterusnya
Demikian perjalanan panjang Kerajaan Bone, maka pada bulan Mei 1950 untuk
pertama kalinya selama Kerajaan Bone terbentuk dan berdiri diawal abad ke XIV atau
tahun 1330 hingga memasuki masa kemerdekaan terjadi suatu demonstrasi rakyat dikota
Watampone yaitu menuntut dibubarkannya Negara Indonesia Timur, serta dihapuskannya
pemerintahan Kerajaan dan menyatakan berdiri dibelakang pemerintah Republik Indonesia
Beberapa hari kemudian para anggota Hadat Tujuh mengajukan permohonan
berhenti. Disusul pula beberapa tahun kemudian terjadi perubahan nama distrik/onder
distrik menjadi KECAMATAN sebagaimana berlaku saat ini.
Pada tanggal 6 April 1330 melalui rumusan hasil seminar yang diadakan pada tahun
1989 di Watampone dengan diperkuat Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Bone No.1
Tahun 1990 Seri C, maka ditetapkanlah tanggal 6 April 1330 sebagai HARI JADI KABUPATEN
BONE dan diperingati setiap tahun .
Kerajaan Tana Bone dahulu terbentuk pada awal abad ke- IV atau pada tahun
1330, namun sebelum Kerajaan Bone terbentuk sudah ada kelompok-kelompok dan
pimpinannya digelar KALULA
Dengan datangnya TO MANURUNG ( Manurungge Ri Matajang ) diberi gelar MATA
SILOMPO-E. maka terjadilah penggabungan kelompok-kelompok tersebut termasuk
Cina, Barebbo, Awangpone dan Palakka. Pada saat pengangkatan TO MANURUNG MATA
SILOMPO- E menjadi Raja Bone, terjadilah kontrak pemerintahan berupa sumpah setia
antara rakyat Bone dalam hal ini diwakili oleh penguasa Cina dengan 10 MANURUNG ,
sebagai tanda serta lambang kesetiaan kepada Rajanya sekaligus merupakan
pencerminan corak pemerintahan Kerajaan Bone diawal berdirinya. Disamping
penyerahan diri kepada Sang Raja juga terpatri pengharapan rakyat agar supaya
menjadi kewajiban Raja untuk menciptakan keamanan, kemakmuran, serta
terjaminnya penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat.
Adapun teks Sumpah yang diucapkan oleh penguasa Cina mewakili rakyat Bone
berbunyi sebagai berikut ;
“ ANGIKKO KURAUKKAJU RIYAAOMI’RI RIYAKKENG
KUTAPPALIRENG ELOMU ELO RIKKENG ADAMMUKKUWA MATTAMPAKO
KILAO.. MALIKO KISAWE. MILLAUKO KI ABBERE.
MUDONGIRIKENG TEMMATIPPANG. MUAMPPIRIKKENG
TEMMAKARE. MUSALIMURIKENG TEMMADINGING “
Terjemahan bebas ;
“ ENGKAU ANGIN DAN KAMI DAUN KAYU, KEMANA BERHEMBUS KESITU
KAMI MENURUT KEMAUAN DAN
KATA-KATAMU YANG JADI DAN BERLAKU ATAS KAMI, APABILA ENGKAU
MENGUNDANG KAMI MENYAMBUT
DAN APABILA ENGKAU MEMINTA KAMI MEMBERI, WALAUPUN ANAK
ISTRI KAMI JIKA TUANKU TIDAK SENANGI KAMIPUN TIDAK
MENYENANGINYA, TETAPI ENGKAU MENJAGA KAMI AGAR TENTRAM,
ENGKAU BERLAKU ADIL MELINDUNGI AGAR KAMI MAKMUR
DAN SEJAHTERA ENGKAU SELIMUTI KAMI AGAR TIDAK KEDINGINAN ‘
Budaya masyarakat Bone demikian Tinggi mengenai sistem norma atau adat
berdasarkan Lima unsur pokok masing-masing : Ade, Bicara, Rapang, Wari dan Sara
yang terjalin satu sama lain, sebagai satu kesatuan organis dalam pikiran masyarakat
yang memberi rasa harga diri serta martabat dari pribadi masing-masing. Kesemuanya
itu terkandung dalam satu konsep yang disebut “ SIRI “merupakan integral dari ke
Lima unsur pokok tersebut diatas yakni pangadereng ( Norma adat), untuk
mewujudkan nilai pangadereng maka rakyat Bone memiliki sekaligus mengamalkan
semangat/budaya ;
SIPAKATAU
artinya : Saling memanusiakan , menghormati / menghargai harkat dan martabat
kemanusiaan seseorang sebagai mahluk ciptaan ALLAH tanpa membeda – bedakan,
siapa saja orangnya harus patuh dan taat terhadap norma adat/hukum yang berlaku
SIPAKALEBBI
artinya : Saling memuliakan posisi dan fungsi masing-masing dalam struktur
kemasyarakatan dan pemerintahan, senantiasa berprilaku yang baik sesuai dengan adat
dan budaya yang berlaku dalam masyarakat
SIPAKAINGE
artinya: Saling mengingatkan satu sama lain, menghargai nasehat, pendapat orang lain,
manerima saran dan kritikan positif dan siapapun atas dasar kesadaran bahwa sebagai
manusia biasa tidak luput dari kekhilafan
Dengan berpegang dan berpijak pada nilai budaya tersebut diatas, maka sistem
pemerintahan Kerajaan Bone adalah berdasarkan musyawarah mufakat. Hal ini dibuktikan
dimana waktu itu kedudukan ketujuh Ketua Kaum ( Matoa Anang ) dalam satu majelis
dimana MenurungE sebagai Ketuanya
Ketujuh Kaum itu diikat dalam satu ikatan persekutuan yang disebut KAWERANG,
artinya Ikatan Persekutuan Tana Bone. Sistem Kawerang ini berlangsung sejak ManurungE
sebagai Raja Bone pertama hingga Raja Bone ke IX yaitu LAPPATAWE MATINROE RI
BETTUNG pada akhir abad ke XVI
Pada tahun 1605 Agama Islam masuk di Kerajaan Bone dimasa pemerintahan Raja
Bone ke X LATENRI TUPPU MATINROE RI SIDENRENG. Pada masa itu pula sebuatan Matoa
Pitu diubah menjadi Ade Pitu ( Hadat Tujuh ), sekaligus sebutan MaTOA MENGALAMI PULA
PERUBAHAN MENJADI Arung misalnya Matua Ujung disebut Arung Ujung dan seterusnya
Demikian perjalanan panjang Kerajaan Bone, maka pada bulan Mei 1950 untuk
pertama kalinya selama Kerajaan Bone terbentuk dan berdiri diawal abad ke XIV atau
tahun 1330 hingga memasuki masa kemerdekaan terjadi suatu demonstrasi rakyat dikota
Watampone yaitu menuntut dibubarkannya Negara Indonesia Timur, serta dihapuskannya
pemerintahan Kerajaan dan menyatakan berdiri dibelakang pemerintah Republik Indonesia
Beberapa hari kemudian para anggota Hadat Tujuh mengajukan permohonan
berhenti. Disusul pula beberapa tahun kemudian terjadi perubahan nama distrik/onder
distrik menjadi KECAMATAN sebagaimana berlaku saat ini.
Pada tanggal 6 April 1330 melalui rumusan hasil seminar yang diadakan pada tahun
1989 di Watampone dengan diperkuat Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Bone No.1
Tahun 1990 Seri C, maka ditetapkanlah tanggal 6 April 1330 sebagai HARI JADI KABUPATEN
BONE dan diperingati setiap tahun .
Sejarah Kabupaten Bone
•Desember 29, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar
|
||
|
Tanah BangkalaE
|
Belajar dan mengambil hikmah dari sejarah kerajaan Bone pada masa lalu minimal terdapat tiga hal yang bersifat mendasar untuk diaktualisasikan dan dihidupkan kembali karena memiliki persesuaian dengan kebutuhan masyarakat Bone dalam upaya menata kehidupan kearah yang lebih baik.
Ketiga hal yang dimaksud adalah :
Pertama, pelajaran dan hikmah dalam bidang politik dan tata pemerintahan. Dalam hubungannya dengan bidang ini, sistem kerajaan Bone pada masa lalu sangat menjunjung tinggi kedaulatan rakyat atau dalam terminology politik modern dikenal dengan istilah demokrasi. Ini dibuktikan dengan penerapan representasi kepentingan rakyat melalui lembaga perwakilan mereka di dalam dewan adat yang disebut “ade pitue”, yaitu tujuh orang pejabat adat yang bertindak sebagai penasehat raja. Segala sesuatu yang terjadi dalam kerajaan dimusyawarahkan oleh ade pitue dan hasil keputusan musyawarah disampaikan kepada raja untuk dilaksanakan.
Selain itu di dalam penyelanggaraan pemerintahan sangat mengedepankan azas kemanusiaan dan musyawarah. Prinsip ini berasal dari pesan Kajaolaliddong seorang cerdik cendikia Bone yang hidup pada tahun 1507-1586 yang pernah disampaikan kepada Raja Bone seperti yang dikemukakan oleh Wiwiek P . Yoesoep (1982 : 10) bahwa terdapat empat faktor yang membesarkan kerajaan yaitu:
- Seuwani, Temmatinroi matanna Arung MangkauE mitai munrinna gauE (Mata Raja tak terpejam memikirkan akibat segala perbuatan).
- Maduanna, Maccapi Arung MangkauE duppai ada’ (Raja harus pintar menjawab kata-kata).
- Matellunna, Maccapi Arung MangkauE mpinru ada’ (Raja harus pintar membuat kata-kata atau jawaban).
- Maeppa’na, Tettakalupai surona mpawa ada tongeng (Duta tidak lupa menyampaikan kata-kata yang benar).
Kedua, yang menjadi pelajaran dan hikmah dari sejarah Bone terletak pada pandangan yang meletakkan kerjasama dengan daerah lain, dan pendekatan diplomasi sebagai bagian penting dari usaha membangun negeri agar menjadi lebih baik.
Urgensi terhadap pandangan seperti itu tampak jelas ketika kita menelusuri puncak-puncak kejayaan Bone dimasa lalu.
|
||
|
Kirab Kerajaan Bone
|
Kemudian pelajaran dan hikmah yang ketiga dapat dipetik dari sejarah kerajaan Bone adalah warisan budaya kaya dengan pesan. Pesan kemanusiaan yang mencerminkan kecerdasan manusia Bone pada masa lalu.
Banyak refrensi yang bisa dipetik dari sari pati ajaran Islam dalam menghadapi kehidupan, dalam menjawab tantangan pembangunan dan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang semakin cepat. Namun yang terpenting adalah bahwa semangat religiusitas orang Bone dapat menjawab perkembangan zaman dengan segala bentuk perubahan dan dinamikanya. Demikian halnya (kabupaten Bone) potensi yang besar yang dimiliki, yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan demi kemakmuran rakyat. Potensi itu cukup beragam seperti dalam bidang pertanian, perkebunan, kelautan, pariwisata dan potensi lainnya.
Demikian masyarakatnya dengan berbagai latar belakang pengalaman dan pendidikan dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mendorong pelaksanaan pembangunan Bone itu sendiri. Walaupun Bone memiliki warisan sejarah dan budaya yang cukup memadai, potensi sumber daya alam serta dukungan SDM, namun patut digaris bawahi jika saat ini dan untuk perkembangan ke depan Bone akan berhadapan dengan berbagai perubahan dan tantangan pembangunan yang cukup berat. Oleh karena itu diperlukan pemikiran, gagasan dan perencanaan yang tepat dalam mengorganisir warisan sejarah, kekayaan budaya, dan potensi yang dimiliki ke dalam suatu pengelolaan pemerintahan dan pembangunan.
Riwayat Hidup Lamellong
•Desember 29, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar Lamellong dikenal sebagai orang yang paling berperan dalam menciptakan pola dasar pemerintahan Kerajaan Bone di masa lampau. Tepatnya pada abad ke-16 masa pemerintahan Raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E (1543-1568) dan raja Bone ke-7 Tenri Rawe BongkangngE (1568-1584). Lamellong muncul ibarat bintang gemilang di kerajaan. Dengan pokok-pokok pikiran tentang hukum dan ketatanegaraan. Pokok-pokok pikiran beliau menjadi acuan bagi Raja dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan.
Tentang Lamellong di tanah Bugis, dilacak melalui sumber-sumber
lisan berupa cerita rakyat dan catatan sejarah, baik dari lontara maupun
tulisan-tulisan lainnya. Serpihan tulisan yang ada lebih banyak
mencatat tentang buah pikirannya yang menyangkut “Konsep Hukum dan
Ketatanegaraan” dalam bahasa Bugis Bone disebut “Pangngadereng”.
Dalam lintasan perjalanan Kerajaan Bone dilukiskan, betapa besar
jasa Lamellong dalam mempersatukan tiga Kerajaaan Bugis, yakni Bone,
Soppeng, dan Wajo, dalam sebuah ikrar sumpah setia untuk saling membantu
dalam hal pertahanan dan pembangunan kerajaan. Ikrar ini dikenal dengan
nama “Lamumpatua” ri Timurung tahun 1582 pada masa pemerintahan La
tenri Rawe BongkangngE.
Dalam ikrar itu ketiga raja yakni, La Tenri Rawe BongkangngE
(Bone), La Mappaleppe PatoloE (Soppeng), dan La Mungkace To Uddamang
(Wajo) menandai ikrar itu dengan menenggelamkan tiga buah batu.
Pokok-pokok pikiran Lamellong yang dianjurkan kepada raja Bone ada empat hal, yakni :1.Tidak membiarkan rakyatnya bercerai-berai;
2.Tidak memejamkan mata siang dan malam;
3.Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan; dan
4.Raja harus mampu bertututur kata dan menjawab pertanyaan.
Gelar Kajao
Karena pola pikiran dan kemampuannya yang luar biasa itu, maka
Lamellong diberi gelar penghargaan dari kerajaan yang disebut “Kajao
Lalliddong”. Kajao berarti orang cerdik pandai dari kampung Lalliddong.
Ia dilahirkan pada masa pemerintahan Raja Bone ke-4 We Benrigau
(1496-1516).
Sejak kecil dalam diri Lamellong telah nampak adanya bakat-bakat
istimewa untuk menjadi seorang ahli pikir yang cemerlang.. Bakat-bakat
istimewa itu kemudian nampak menjelang usia dewasanya yang
dilatarbelakangi iklim yang bergolak, di mana pada zaman itu Gowa telah
berkembang sebagai kerajaan yang kuat di jazirah Sulawesi Selatan.
Kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka di Sulawesi Selatan satu demi satu
ditaklukkannya baik secara damai maupun kekerasan. Hanya Kerajaan
Bonelah yang masih dapat mempertahankan diri dari ekspansi Gowa. Akan
tetapi lambat laun Kerajaan Bone dalam keadaan terkepung menyebabkan
kerajaan dan rakyat Bone dalam situasi darurat, namun akhirnya dua
kerajaan yang berseteru berdamai.
Menurut catatan Lontara, bahwa pada masa pemerintahan Raja Bone
ke-7 La Tenri Rawe BongkangngE. Lamellong atau Kajao lalliddong diangkat
menjadi penasihat dan Duta Keliling Kerajaan Bone. Ia dikenal sebagi
seorang ahli pikir besar, negarawan, dan seorang diplomat ulung bagi
negara dan bangsanya.
Dalam perjanjian Caleppa (Ulu Kanaya ri Caleppa) antara Kerajaan
Bone dan Gowa tahun 1565. Lamellong atau Kajao Lalliddong memainkan
peranan penting. Juga perjanjian persekutuan antara kerajaan
Bone,Soppeng, dan Wajo yang disebut Perjajnjian LamumpatuE ri Timurung
tahun 1582.
Ajaran-ajaran Kajao termuat dalam berbagai Lontara diantaranya LATOA seperti beberapa alinea yang dikutip berikut ini :
Dalam dialog Kajao dengan raja Bone (berkata Raja Bone : Apa
tandanya apabila negara itu mulai menanjak kejayaannya? Jawab Kajao :
Duwa tanranna namaraja tanae, yanaritu seuwani namalempu namacca Arung
MangkauE, madduwanna tessisala-salae. Artinya : dua tandanya negara
menjadi jaya, pertama raja yang memerintah memiliki kejujuran serta
kecerdasan, kedua di dalam negeri tidak terjadi perselisihan.
Selain itu, ajaran Lamellong Kajao Lalliddong mengenai pelaksanaan
pemerintahan dan kemasyarakatan yang disebut “Inanna WarangparangngE”
yaitu sumber kekayaan, kemakmuran, dan keadilan antara lain :
1. Perhatian Raja terhadap rakyatnya harus lebih besar dari pada perhatian terhadap dirinya sendiri;2. Raja harus memiliki kecerdasan yang mampu menerima serta melayani orang banyak;
3. Raja harus jujur dalam segala tindakan.
Tiga faktor utama yang ditekankan Kajao dalam pelaksanaan
pemerintahan, merupakan ciri demokratisasi yang membatasi kekuasaan
Raja, sehingga Raja tidak dapat bertindak sewenang-wenang dalam
menjalankan norma yang telah ditetapkan. Tentang Pembatasan kekuasaan,
dalam lontara disebutkan, bahwa Arung Mangkau berkewajiban untuk
menghormati hak-hak orang banyak. Perhatian Raja harus sepenuhnya
diarahkan kepada kepentingan rakyat sesuai amanah yang telah
dipercayakan kepadanya.
Lebih jauh Lamellong Sang Kajao menekankan bahwa raja dalam
melaksanakan roda pemerintahannya harus berpedoman kepada
“Pangngadereng” (Sistem Norma). Adapun sistem norma menurut konsep
Lamellong Kajao Lalliddong sebagai berikut :
1. ADE’Ade merupakan komponen pangngaderen yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat. Ade’ sebagai pranata sosial didalamnya terkandung beberapa unsur antara lain :
a. Ade pura Onro, yaitu norma yang bersifat permanen atau menetap dengan sukar untuk diubah.
b. Ade Abiasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu
masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi
manusia.
c. Ade Maraja, yaitu sistem norma baru yang muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
2. BICARA
Bicara adalah aturan-aturan peradilan dalam arti luas. Bicara lebih
bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang mengarah kepada keadilan
dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada objektivitas,
tidak berat sebelah. Pabbicara diera sekarang ini adalah Hakim.
3. RAPANG
Rapang adalah aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan
keputusan-keputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat
yang berlaku di negeri tetangga.
4. WARI
Wari adalah suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas
kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya
dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban
setiap orang.
Setelah agama Islam resmi menjadi agama Kerajaan Bone pada abad
ke-17, maka keempat komponenpangngadereng (Ade, Bicara, Rapang, dan
Wari) ditambah lagi satu komponen, yakni Sara (Syariah). Dengan demikian
ajaran Kajao Lalliddong tentang hukum yang mengatur kehidupan
masyarakat, baik secara individu maupun kominitas dalam wilayah
kerajaan, dengan ditambahkannya komponen sara diatas menjadi semakin
lengkap dan sempurna. Ajaran Kajao ini selanjutnya menjadi pegangan bagi
kerajaa-kerajaan Bugis yang ada di Sulawesi Selatan.
Dapat dikatakan, bahwa lewat konsep “Pangngadereng” ini menumbuhkan
suatu wahana kebudayaan yang tak ternilai bukan hanya bagi masyarakat
Bugis di berbagai pelosok nusantara. Bahkan ajaran Kajao Lalliddong ini
telah memberi warna tersendiri peta budaya masyarakat Bugis, sekaligus
membedakannya dengan suku-suku lain yang mendiami nusantara ini.
Semasa hidupnya Kajao Lalliddong senantiasa berpesan kepada siapa
saja, agar bertingkahlaku sebagai manusia yang memiliki sifat dan hati
yang baik. Karena menurutnya, dari sifat dan hati yang baik, akan
melahirkan kejujuran, kecerdasan, dan keberanian. Diingatkan pula, bahwa
di samping kejujuran, kecerdasan, dan keberanian maka untuk mencapai
kesempurnaan dalam sifat manusia harus senantiasa bersandar kepada
kekuasaan “Dewata SeuwwaE” (Tuhan Yang Maha Esa). Dan dengan ajarannya
ini membuat namanya semakin populer, bukan hanya dikenal sebagi
cendekiawan, negarawan, dan diplomat ulung, tetapi juga dikenal sebagi
pujangga dan budayawan.
Nama dan jasanya sampai kini terpatri dalam hati sanubari
masyarakat Bone khususnya, bahkan masyarakat bugis pada umumnya. Dia
adalah peletak dasar konsep-konsep hukum (Pangngadereng) dan
ketatanegaraan yang sampai kini msaih melekat pada sikap dan tingkah
laku orang Bugis.
Saat-saat Terakhir dalam Hidupnya
Mengingat usia Lamellong Kajao Lalliddong pada akhir pemerintahan
Latenri Rawe Bongkangnge (1584) sudah mencapai 71 tahun, maka banyak
yang berpendapat, bahwa pada masa pemerintahan raja Bone ke-8 peranan
Kajao Lalliddong secara pisik sebagai penasihat kerajaan tidak lagi
terlalu nampak, kecuali buah-buah pikirannya tetap menjadi acuan bagi
raja dalam melaksanakan aktivitasnya. Pada masa inilah Lamellong yang
digelar Kajao Lalliddong meninggal dunia.
Sumber-sumber lisan misalnya cerita rakyat di Kabupaten Bone
menyebutkan bahwa di saat usia uzur, beliau memilih meninggalkan istana
raja dan kembali ke kampung kelahirannya di Lalliddong yang pada saat
itu berada dalam wilayah wanua Cina. Tetapi bukan berarti buah-buah
pikirannya tidak lagi dibutuhkan. Setiap saat raja dan aparatnya masih
tetap meminta pendapat bila ada hal-hal yang sulit untuk dipecahkan.
Tentang pemberian gelar “Kajao” yang menurut bahasa Bugis, hanya
diperuntukkan bagi nenek perempuan, hal ini menimbulkan analisis, bahwa
selama hidupnya Kajao Lalliddong berperan sebagai “Rohaniawan” (Bissu)
di mana pada saat itu Kerajaan Bone masih dipengaruhi oleh agama Hindu.
Dengan peranannya sebagai Bissu, maka tingkah lakunya selalu namapak
sebagai layaknya seorang perempuan.
Di desa Kajao Lalliddong Kecamatan Barebbo kabupaten Bone ada dua
versi tentang peristiwa meninggalnya ahli pikir kerajaan Bone itu. Versi
pertama menyebutkan, bahwa Kajao Lalliddong diakhir hidupnya ditandai
dengan peristiwa “Mallajang” (menghilang) bersama anjing kesayangannya.
Pada saat itu Kajao Lalliddong bersama anjingnya berjalan-jalan di
Kampung Katumpi sebelah selatan kampung Lamellong, namun setelah
dilakukan pencarian, ternyata Kajao Lalliddong bersama anjingnya tidak
dapat ditemukan. Dengan demikian orang-orang di kampung Lalliddong
menyatakan “Mallajang” (menghilang).
Versi kedua menyatakan di saat usia Kajao lalliddong bertambah
uzur, pada akhirnya menghembuskan nafas terakhir dengan tenang. Hanya
tidak disebutkan bagaimana proses pemakamannya, apakah mengikuti prosesi
animisme, atau agama Hindu, yakni dibakar atau dimakamkan sebagaimana
kebiasaan orang Bugis saat itu.
Tentang makamnya yang terletak di Desa Lalliddong sekarang ini,
menurut penduduk setempat pada mulanya hanyalah merupakan kuburan biasa
yang ditandai sebuah batu sebagai nisan. Nanti pada suatu saat beberapa
turunannya mengambil inisiatif dengan memugarnya, sehingga sekarang
nampak lebih unik dari kuburan lainnya.
Di sekitar makam Kajao Lalliddong terdapat beberapa kuburan tua.
Menurut cerita penduduk di desa itu yang merasa turunannya, bahwa
kuburan-kuburan itu adalah sanak keluarga Lamellong Kajao Lalliddong di
masa hidupnya. Sedikitnya ada empat kuburan tua yang terdapat disekitar
kuburan Kajao Lalliddong samapai sekarang tetap terjaga dan terpelihara.
Menurut sumber yang dapat dipercaya, bahwa saat-saat terakhir
kehidupan Lamellong Kajao Lalliddong memperlihatkan hal-hal yang
istimewa tentang ilmu kebatinan. Bahkan masyarakat banyak menganggap
Kajao Lalliddong memilki berkah, sehinnga setiap saat dikunjungi oleh
banyak orang.
Tongkat Lamellong
Di dusun Lamellong sekarang ini terdapat sebuah pohon besar yang
berdiameter kira-kira 10 meter lebih hingga sekaran masih nampak berdiri
dan tumbuh menjulang tinggi. Masyarakat meyakini pohon itu adalah
tongkat Lamellong.
Konon pada suatu hari, Lamellong pernah mengambil pohon” Nyelle “
yang masih kecil untuk dijadikan tongkat. Namun karena tongkat itu tidak
lagi digunakan maka dipancangkannya di atas tanah. Ternyata tongkat
kayu itu kemudian tumbuh dengan suburnya, sampai sekarang pohon itu
masih ada. Bahkan poho besar itu dijadikan penanda oleh penduduk
setempat kapan mulainya musim tanam jagung. Menurut para petani di
kampung Lalliddong apabila pohon nyelle itu sudah betul-betul rimbun
maka tibalah saatnya menanam jagung. Selain itu pelaut-pelaut dari
Sulawesi Selatan dan Tenggara yang akan berlabuh di Barebbo, maka pohon
itulah dijadikan sebagai pedoman. Menurut mereka, selagi masih jauh dari
daratan sudah kelihatan, puncak pohon ini sayup-sayup melambai.
Benar atau tidak, yang jelas bahwa pohon nyelle tersebut yang
diyakini masyarakat setempat sebagai tongkat Lamellong, masih dapat
disaksikan keberadaannya hinnga saat ini. Oleh sebagian masyarakat
setempat menganggap pohon besar itu “angker”
oleh" iksanbone"


Tidak ada komentar:
Posting Komentar